1. ARTEFAK LOGAM

Jawa Barat kaya akan peninggalan logam, seperti berbagai jenis senjata, Kujang, keris, pisau, golok, alat pertanian, perlengkapan rumah tangga, kapak corong, alat pertukangan, pedang, dsb. Jumlah dan variasi berbagai tinggalan logam ini dapat disaksikan di Museum Prabu Siliwangi, yang dikelola oleh Pondok Pesantren Modern Al Fath yang dipimpin oleh K,H Fajar Laksana Ph.D. Sebagain besar koleksi tersebut merupakan warisan keluarga, dan ada pula yang berasal dari lokasi situs, khususnya di daerah Pegunungan Karang Cikakak, Pelabuhan ratu, Jawa Barat, dan bahkan ada yang berasal dari Trowulan Jawa Timur, dan dari luar negri seperti Turki dan China). Begitu banyaknya peninggalan logam berupa senjata ini, hanya sebagian saja yang dipilih sebagai sampel, untuk dianalisis secara arkeologis dengan memperluas pada aspek teknologis secara laboratoris, dengan metode analisis XRF (X-Ray Fluorescence).

Metode XRF digunakan untuk menentukan komposisi unsur suatu material. Karena metode ini cepat dan tidak merusak sampel, metode ini dipilih untuk aplikasi di lapangan dan industri untuk kontrol material. Tergantung pada penggunaannya, XRF dapat dihasilkan tidak hanya oleh sinar-X tetapi juga sumber eksitasi primer yang lain seperti partikel alfa, proton atau sumber elektron dengan energi yang tinggi (Viklund,2008).

Prinsip kerja XRF adalah apabila terjadi eksitasi sinar-X primer yang berasal dari tabung X ray atau sumber radioaktif mengenai sampel, sinar-X dapat diabsorpsi atau dihamburkan oleh material. Proses dimana sinar-X diabsorpsi oleh atom dengan mentransfer energinya pada elektron yang terdapat pada kulit yang lebih dalam disebut efek fotolistrik. Selama proses ini, bila sinar-X primer memiliki cukup energi, elektron pindah dari kulit yang di dalam menimbulkan kekosongan. Kekosongan ini menghasilkan keadaan atom yang tidak stabil. Apabila atom kembali pada keadaan stabil, elektron dari kulit luar pindah ke kulit yang lebih dalam dan proses ini menghasilkan energi sinar-X yang tertentu dan berbeda antara dua energi ikatan pada kulit tersebut. Emisi sinar-X dihasilkan dari proses yang disebut X Ray Fluorescence (XRF). Proses deteksi dan analisa emisi sinar-X disebut analisa XRF. Pada umumnya kulit K dan L terlibat pada deteksi XRF. Sehingga sering terdapat istilah Kα dan Kβ serta Lα dan Lβ pada XRF. Jenis spektrum X ray dari sampel yang diradiasi akan menggambarkan puncak-puncak pada intensitas yang berbeda (Viklund,2008).

Kelebihan XRF adalah, Cukup mudah, murah dan analisanya cepat, Jangkauan elemen Hasil analisa akurat, Membutuhan sedikit sampel pada tahap preparasinya (untuk Trace elemen), Dapat digunakan untuk analisa elemen mayor (Si, Ti, Al, Fe, Mn, Mg, Ca, Na, K, P) maupun tace elemen (>1 ppm; Ba, Ce, Co, Cr, Cu, Ga, La, Nb, Ni, Rb, Sc, Sr, Rh, U, V, Y, Zr, Zn). Adapun kelemahan metode ini adalah : Tidak cocok untuk analisa element yang ringan seperti H dan He, Analisa sampel cair membutuhkan Volume gas helium yang cukup besar, Preparasi sampel biasanya membutuhkan waktu yang cukup lama dan membutuhkan perlakuan yang banyak.

Sejak ditemukan logam, terjadi lonjakan kehidupan manusia yang disebut sebagai revolusi budaya. Transisi dari Zaman Batu ke Zaman Logam menandai sebuah revolusi budaya yang mengubah drastis cara manusia hidup, berinteraksi, dan mengembangkan teknologi. Logam menjadi penting karena memeiliki keunggulan antara lain, mudah dibentuk, dan mempunyai sifat lebih keras dari pada batu, sehingga logam bisa dipakai untuk memangkas batu ataupun memahat batu. Kepandaian membuat benda loga juga dikenal sebagai kepandaian mengelola api, sehingga dapat dicipta alat-alat yang lebih canggih, dan efisien, seperti kapak, pisau, mata panah, serta peralatan pertanian dan terciptanya produksi massal, dengan teknik peleburan dan penempaan logam memungkinkan produksi alat-alat dalam jumlah besar dan seragam.

Campuran tembaga dan timah yang menghasilkan benda perunggu, adalah bukti teknologi kuno tertinggi atas teknologi logam. Penemuan logam memungkinkan manusia mengolah pertanian dengan lebih efisien dengan meningkatkan produksi pangan. Selain itu benda perunggu juga menjadi komoditas perdagangan dan membuat jaringan perdagangan antar wilayah. Arca, dan benda seni banyak dibuat dari bahan perunggu. Penemuan bahan besi yang lebih kuat dari perunggu dimungkinkan membuat bangunan2 candi dengan peraklatan pahat dari besi. Dengan demikian penemuan logam ini membawa era baru dalam kehidupan manusia dimana terjadi revolusi pertanian, dalam bidang militer berbagai senjata diproduksi pedang, tombak, keris, baju zirah. Penemuan roda gerobak juga membawa lompatan terjadinya revolusi industry, dan dengan demikian mendorong pertumbuhan kota-kota dalam struktur sosial dan politik.

Dalam konteks arkeologi penemuan logam paling awal pada 8000-9500 tahun yang lalu di Timur Dekat dengan membuat perhiasan dan peralatan yang masih sangat sederhana (Sharer dan Ashmore 1980). Perhiasan seperti kalung, gelang, dibuat dari tembaga sehinga disebut denagnjaman tembaga atau Chalcolithic, copper Age. Kemudian dalam perkembangannya bahan tembaga dicampur dengan timah (pb) atau seng (Zn) yang disebut dengan perunggu, maka masa ini disebut dengan jaman perunggu, setelah itu muncul jaman besi. Kepandaian menuang logam ini dikenal teknologi dengan cetakan setangkup (bivalve) dan cetakan lilin cirrie perdue. Dengan menuangkan cairan logam kedalam cetakan lilin, akan lilin akan lumer dan terbentuk alat logam yang diiginkan. Teknik ini hanya dapat dilakukan satu kali sedangkan bivalve bisa berkali-kali. Pengetahuan mencampur logam dan menuang logam merupakan paduan dari sejumlah pengetahuan tentang mencampur logam, pengendalian api, mencairkan bijih logam, mencetak dan menempa (Beals and Hoijer, 1956), Pengembangan teknologi yang melibatkan berbagai bahan baku berbagai jenis logam ini dikenal sebagai metalurgi (Brew, J.O, 1970). Berdasarkan analisis spsktroskopik bahan tembaga lebih dahulu digunakan dari pada perunggu dan besi (Brothwell, 1971).

Jaman logam di Indonesia dikenal sebagai masa undagi berlangsung sekita 300 Sm. Benda artefak dibuat dari perunggu dan besi, sedangkan perhisan dibuat dari perunggu, emas dan perak (heekeren, 1958, Haryono, 1983). Namun hasil penelitian logam Matano diketahui bahwa baja juga sudah dikenal sejak lama, dalam hal ini material besi yang mengandung oksidan sangat sedikit mendekati kesamaan dengan unsur baja dan juga mengandung nikel, sehingga dihasilkan benda yang kuat, lentur tahan karat dan indah (Triwurjani et.al. 2024).

Banyaknya temuan benda logam di Jawa barat khsusnya di Sukabumi dan sekitarnya menunjukan adanya kegiatan pande besi di Jawa Barat diperkirakan telah berlangsung sejak zaman prasejarah. Hal ini dibuktikan dengan adanya temuan dua kapak corong berukuran kecil, panjang kali lebar 9 x7 dan 7 x 5 cm, yang kini menjadi koleksi museum Prabu Siliwangi. Penemuan berbagai jenis benda logam seperti senjata, perhiasan, dan alat-alat pertanian pada situs-situs purbakala di Jawa Barat menunjukkan bahwa keterampilan dalam mengolah logam sudah berkembang sejak zaman dahulu. Bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa masyarakat Nusantara telah mampu mengolah logam sejak ribuan tahun lalu. Pada masa kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha dan Islam, kegiatan pande besi semakin berkembang dan mencapai puncak kejayaannya.

Pengakuan peran pande besi disebutkan dalam kitab Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian, kitab sunda kuno abad 15-16 M, yang menyebutkan bermacam-macam pekerjaan dan kehalian dalam masyarakat Sunda kuno, antara lain prepantun (juru pantun) dan panday ahli berbagai senjata (tenteupaan) (Ayatrohaedi, 1975:73, dalam Munandar, 2010:181). Aktivitas dan kepandaian membuat logam di Jawa Barat diceritakan dalam tradisi lisan yang dituangkan dalam Babad tanah Jawi dan babad Banten, yang mengetengahkan tokoh yang sama Ciung Wanara (yang merupakan putra raja kerajaan Pajajaran), sejak kecil dititipkan kepada paman pande besi dan belajar menempa, serta berhasil mengumpulkan 800 pande besi dari daerah sekitar untuk membuat kerangkeng besi (Sudibyo, Z.H, 1980, Hoesein Djayadiningrat, 1983; dalam Abdul Choliq Nawawi, 1993:21-30). Cerita-cerita rakyat dan tradisi lisan di Jawa Barat seringkali memuat kisah tentang pandai besi yang memiliki keterampilan khusus dan dihormati oleh masyarakat.

Hasil analisis terhadap sampel sejumlah benda logam koleksi museum Prabu Siliwangi, diketahui benda tersebut mewakili peninggalan dari masa prasejarah dan sejarah. Benda –benda logam ini adalah bukti kegiatan pertukangan logam di daerah Jawa Barat sangat banyak hingga pelosok yang dibuktikan dengan adanya tradisi lisan yang ditulsikan dalam babad tanah Jawi dan Babad Banten, dimana ada kurang lebih 800 pande besi yang dikumpulkan oleh tokoh Ciung Wanara.

Adapun benda logam yang mewakili masa prasejarah adalah 2 (dua) kapak corong dan beberapa perhiasan yang kemungkinan besar merupakan bekal kubur. Kapak corong yang keseluruhannya ditutupi patinasi menambah kekunoan benda tersebut. Patinasi itu sendiri berlangsung cukup lama dan sekaligus merupakan pelindung dari benda itu sendiri dari kerusakan lebih lanjut akibat faktor alam dan cuaca. Kemudian pada masa berikutnya senjata berupa kujang dan keris, yang merupakan symbol status dan alat ceremonial, yang tidak digunakan pada alat keseharian. Sedangkan jenis kujang yang lain dengan bilah lebar dan ada tonjolan di tengahnya biasa digunakan segagai alat pertanian. Begitu pula golok pendek, panjang, dan pisau yang dipakai sebagai alat pertanian. Pada masa berikutnya golok berkembang menjadi simboll, alat seni, alat upacara menyambut tamu, melalui pertunjukan pencak silat. Alat atau perkakas pertanian lainnya menunjukan bahwa kegiatan pertanian di Jawa Barat khsusnya Sukabumi pada masa itu cukup maju, yaitu sekitar abad 16-19 M. Kronologi absolut terhadap benda logam tersebut hanya bisa dilakukan melalui analisis spektromatis uji laboratories, yang membuthkan waktu yang cukup lama, namun demikian dari sumber-sumber tertulis kitab Sanghyang Siksa Kenda Ng Karesian pada masa abad 15-16 M dan masa sesudahnya Babad Tanah Jawi dan Babad Banten dapat diketahui usia relative dari benda-benda tersebut.

Hasil uji laboratiris dengan XRF menunjukan sebagian benda logam yang merupakan pusaka warisan, menunjukkan unsur besi yang dominan sampai 99 %, namun ada juga senjata kujang yang dibuat merupakan campuran atau kombinasi antara unsur besi dan tembaga yang merupakan campuran Cu dan Zn. Kemudian senjata tersebut diberi warna kuning. Hal ini menunjukan bahwa benda-benda logam tersebut dibuat dari besi sebagai bahan utama yang diperoleh di daerah sekitarnya di Jawa Barat. Hal ini menunjukkan tingkat teknologi dan kepandaian sang empu pande besi membuat senjata yang dipesan untuk tujuan tertentu. Dengan demikian daerah Jawa Barat dapat dikatakan kaya akan sumber besi dan unsur logam lainnya. Hanya saja pada saat ini benda logam yang dibuat dengan teknik tempa tradisional sudah jarang dilakukan karena sudah tergerus dengan buatan pabrik.

Penamaan khusus pada senjata jenis kujang juga menunjukkan bahwa kujang mempunyai peran penting di pemerintahan dan keluarga kerajaan atau bangsawan disamping masyarakat petani pada umumnya, Ada kujang2 tertentu yang diberi nama dan diperuntukan untuk jabatan tertentu seperti raja, ibu ratu, panglima, tokoh keagamaan, putra mahkota dsb. Hal ini menunjukan ada hierarki yang cukup ketat dan tingkat social yang cukup solid yang berlangsung pada pemerintahan Kerajaan Pajajaran pada waktu itu. Akan halnya prabu Siliwangi, tokoh mitologi yang sudah begitu kuatnya pada masyarakat Pajajaran sebagai Raja yang sakti dan Bijaksana, sehingga hampir merupakan tokoh ideologi yang selalu diacu dalam segenap kehidupan masyarakat Pajajaran, bahkan mungkin Jawa Barat pada umumnya. Dengan demikian senjata jenis kujang badi masyarakat Jawa barat mempunyai peran profan dan sakral, peran sosial sebagai symbol status dan peran keseharian sebagai perkakas pertania, pada jenis kujang tertentu. Sekali lagi hal ini juga dapat menunjukan adanya keteraturan dalam kehidupan sosial masyarakat.

Benda- benda logam lainnya adalah berupa peralatan Rumah Tangga, sepeti seperangkat sirih (nginang), dari kuningan dan juga teko berleher tinggi lengkap dengan cangkirnya menunjukkan benda-benda bermutu tinggi yang dimiliki oleh keluarga atau tokoh yang mempunyai kedudukan yang tinggi di masyarakat. Di Museum Prabu Siliwangi juga terdapat pedang dari China dan Arab yang menunjukan adanya hubungan dengan dunia luar masa Islam. Adanya pedang-pedang tersebut selain sebagai penanda adanya hubungan dengan negara-negara Islam, juga dapat mengenali dan mencirikan bentuk-bentuk pedang dan senjata lainnya dari negara lain. Pengetahuan ini dapat menjadi dasar pemahaman bahwa setiap benda mewakili masanya. Sehingga kita dapat mengetahui waktu (time) benda tersebut berada (space) dengan melihat bentuknya (form). Berkaitan dengan penggagas dari museum ini K.H Fajar Laksana Ph.D, dapat disimpulkan bahwa beliau mempunyai hubungan sosial yang luas tidak saja pada tingkat lokal, nasional juga Internasional.

2. ARTEFAK BATU

Hasil pengamatan dan analisis terhadap 15 benda-benda koleksi prasejarah yang terdapat di museum ini memperlihatkan ciri dan bentuk sebagai berikut; batu alam (9 buah), fosil kayu (1 buah), fosil cangkang kerang (mewakili 6 koleksi yang ada), tengkorak monyet (1 buah), Cula terbakar (1 buah), Lesung Batu (1 buah), dan Prototype Cetakan Senjata Kujang (mewakili 13 koleksi yang ada). Dari hasil analisis benda-benda koleksi prasejarah di Museum Sejarah Sunda Prabu Siliwangi yang disebutkan di atas, menunjukkan adanya 3 point penting untuk dimanfaatkan sebagai bahan rujukan atau rekomendasi, yaitu:

  1. Prototype Cetakan Senjata Kujang: Benda koleksi berupa cetakan batu prototype senjata kujang merupakan artefak yang dibuat oleh manusia, namun belum diketahui jejak pertanggalannya (kapan dibuat).. Hasil uji pertanggalan di Laboratorium Museum Geologi Bandung menyatakan bahwa sumber bahan baku artefak tersebut berasal dari jenis batuan Pasir Volkanik yang berumur Oligosen – Miosen Awal (30 – 20 juta tahun). Keberadaan cetakan batu proto type senjata kujang yang merupakan senjata khas di Jawa Barat (Sunda) di Museum Prabu Siliwangi mempunyai arti penting dalam mengungkap penelusuran Sejarah Sunda, khususnya terkait dengan Silsilah dan sejarah Prabu Siliwangi
  2. Lesung Batu (Lisung Batu Maung): Lesung Batu berbentuk muka macan ini kemungkinan merupakan cikal-bakal lesung batu dari masa sekarang yang dibuat dari bahan kayu. Menilik dari teknik dan ciri pembuatannya yang sangat halus dan tidak adanya jejak pakai (use wear), kemungkinan artefak ini berfungsi secara sacral (bukan profan). Keunikan dari Lesung Batu ini menjadi penting artinya karena selain mengandung filosofi yang sarat makna juga menjadi ikon atraksi Pencak Silat di Ponpes Modern Al Fath dan Museum Sejarah Prabu Siliwangi di Sukabumi.

Hasil pengamatan atau analisis yang telah dilakukan terhadap 8 (delapan) sampel arca-arca (patung) yang sebelumnya disebut Patung Polinesia, direkomendasikan agar tidak menyebut kembali koleksi tersebut sebagai arca atau patung Polinesia, peneliti lebih cenderung memberikan nama “Arca-arca Tinggalan Budaya Megalitik tipe Jawa Barat”. Namun dari sampel-sampel yang telah ditelaah masih terdapat pembagian masa (waktu) untuk arca-arca atau patung di museum ini. Hasil analisis menunjukkan terdapat 2 (dua) arca tinggalan budaya megalitik tipe Jawa Barat (masa prasejarah), 4 (empat) arca tinggalan tradisi megalitik tipe Jawa Barat (masa peralihan pengaruh dari masa prasejarah), dan 2 (dua) arca reproduksi-kontemporer (buatan baru). Secara keseluruhan arca-arca yang berada di museum ini terdapat 4 kategori, yaitu:

  1. arca-arca tinggalan budaya megalitik yang besar kemungkinan terdapat pada masa prasejarah,
  2. arca-arca peralihan yang masih memperlihatkan persentuhan dari pengaruh masa prasejarah (tradisi budaya megalitik) dan juga sudah memperlihatkan pengaruh masa sejarah (Hindu-Budha),
  3. arca-arca tinggalan masa sejarah atau klasik (Hindu-Budha),
  4. arca-arca reproduksi-kontemporer

Hasil analisis terhadap barang koleksi yang dimasukan dalam kategori koleksi Sejarah Hindu-buddha Indonesia, dari 6 barang yang dianalisis berhasil diketahui ada 3 yang dapat dimasukan ke dalam kategori kuno, yaitu 2 arca klasik Hindu-Buddha tipe Jawa Barat (no. urut 1 dan 2), serta batu berpahat kepala gajah. Dari bentuk arca klasik Hindu-Buddha tipe Jawa Barat tersebut terlihat adanya kesinambungan dari tipe arca budaya sebelumnya, yaitu budaya megalitik Jawa Barat. Perbedaannya terlihat pada sikap tangan yang bersedekap di depan dada, duduk bersila, serta duduk di atas lapik. Hal tersebut tidak lazim pada arca era sebelumnya.

Keistimewaan lainnya adalah, dua arca tersebut menggambarkan local genius masyarakat Sunda pada masa lalu (masa klasik Hindu-Buddha) karena masih mempertahankan bentuk arca masa sebelumnya, meskipun budaya yang berkembang pada saat itu adalah klasik Hindu-Buddha. Dengan kata lain, walaupun sudah masuk masa sejarah Hindu-Buddha, akan tetapi penggambaran arcanya tidak mengikuti pakem atau aturan penggambaran dewa-dewa Hindu-Buddha dengan pengaruh India, tetapi masih mempertahankan tradisi mereka.

Untuk benda koleksi keramik yang dianalisis, keseluruhannya adalah memang keramik kuno yang berasal dari Cina. Keramik yang tertua adalah jenis mangkuk dan piring kecil Cina dari Dinasti Ming abad 16 – 17 Masehi, sedangkan 7 lainnya adalah keramik Cina dari Dinasti Qing abad 19 Masehi, dan abad 19 – 20 Masehi. Piring semacam ini masuk ke Indonesia karena perdagangan keramik yang dibawa oleh kapal-kapal Cina abad 19 – 20 Masehi dari Cina Selatan, masa dinasti Qing akhir. Barang keramik yang masuk kategori barang produksi masal yang dikenal dengan istilah kitchen Qing atau buatan dapur keramik masa Qing, dari daerah Guandong, Cina Selatan.

PERIODISASI DAN CIRI BUDAYA PRASEJARAH DI INDONESIA

A. Masa Paleolitik (Sistem Berburu dan Meramu Tingkat Sederhana)

            Masa ini seringkali disebut pula sebagai Masa Batu Tua (Palaeo=tua; lithic=batu). Pola kehidupan manusia pada masa ini masih berburu dan meramu, belum mengenal tempat tinggal tetap dan berpindah-pindah tempat (nomaden). Manusia pendukungnya adalah Homo erectus atau dahulu dikenal sebagai manusia purba ‘Pithecanthropus erectus’ (= manusia kera berjalan tegak). Ciri khas budayanya berupa kapak batu atau kapak genggam yang masih kasar/sederhana pengerjaannya, seperti antara lain Kapak Perimbas (Chopper), Kapak Penetak (Chopping-tool), Kapak Genggam (Hand-axe), bola-bola batu, dan serpih-bilah. Kisaran waktu atau kronologi kehidupan ini berlangsung pada Kala Pleistosen sekitar 2 juta – 200.000 tahun lalu.

B. Masa Pre-Neolitik (Mesolitik/Sistem Berburu dan Meramu Tingkat Lanjut)

            Masa ini dahulu seringkali disebut dengan masa Mesolitik sebagai Masa Batu Pertengahan (Messo=tengah; lithic=batu), namun saat ini masa ini lebih dikenal dengan Masa Pre-Neolitik. Pola kehidupan manusia pada masa ini masih berburu dan meramu, namun sudah mulai menetap dan tinggal pada gua-gua dan ceruk alam yang sewaktu-waktu ditinggalkan,  Manusia pendukungnya adalah kelompok manusia atau homo sapiens dari ras Austromelanesid  Ciri khas budayanya berupa alat-alat serpih-bilah dari batu dan alat-alat tulang binatang. Kisaran waktu atau kronologi kehidupan ini berlangsung pada Kala Holosen dan berkembang sekitar 10.000 tahun lalu.

C. Masa Neolitik (Sistem Bercocok Tanam)

            Masa ini seringkali disebut pula sebagai Masa Batu Baru (Neo=baru; lithic=batu). Pola kehidupan manusia pada masa ini sudah mulai menetap dan tinggal berkelompok dalam perkampungan-perkampungan kecil, sudah mengenal bercocok tanam, menjinakkan/memelihara binatang, mengasah batu (polished}, membuat gerabah atau tanah liat bakar, dan sudah mengenal sistem navigasi (pelayaran). Oleh karena itu pada masa ini juga disebut sebagai ‘Revolusi atau Puncak Peradaban’ dalam sejarah umat manusia, karena pola kehidupannya mengalami perubahan besar yang sangat signifikan untuk kelangsungan hidupnya. Manusia pendukungnya adalah kelompok manusia bertutur dari ras Austronesia yang berkembang dari Taiwan dan kemudian menyebar ke seluruh wilayah Indonesia. Ciri khas budayanya berupa alat-alat batu yang sudah di upam halus (seperti kapak lonjong, beliung persegi, dsb) dan benda-benda tanah liat bakar (gerabah) serta system kepercayaan dan penguburan yang disertai bekal kubur. Kisaran waktu atau kronologi kehidupan ini berlangsung pada Kala Akhir Holosen sekitar 5.000 – 3.000 tahun lalu.

D. Masa Paleo-metalik (Masa Logam Awal/Perundagian)

            Masa ini seringkali disebut pula sebagai Masa Logam atau perundagian (Palaeo=tua; methal=logam). Pola kehidupan manusia pada masa ini selain sudah menetap dan tinggal dalam perkampungan-perkampungan kecil juga mulai muncul para undagi yang membuat/melebur logam (terutama perunggu dan besi) untuk peralatan mereka. Manusia pendukungnya di Indonesia lebih cenderung pada kelompok manusia bertutur dari ras Mongoloid Selatan yang kebanyakan merupakan pendukung budaya dan Bahasa Austronesia. Pada masa ini perkembangan teknologi dari logam dan kerajinan membuat gerabah sangat maju pesat. Kisaran waktu atau kronologi kehidupan ini di Indonesia diperkirakan mulai berkembang sekitar 500 tahun SM sampai menjelang masa sejarah atau yang sering disebut masa Proto Sejarah (masa-masa menjelang mulai dikenalnya tulisan).

            Di Masa Paleo-metalik atau logam awal ini, di Indonesia mulai terdapat suatu budaya yang dikenal dengan Budaya Megalitik. Budaya megalitik ini terkenal dengan budaya yang mempergunakan batu-batu besar selain juga batu-batu yang lebih kecil yang biasanya dipergunakan sebagai media yang bersifat sakral (religi) maupun profan (kehidupan sehari-hari). Budaya Megalitik yang berakar dari masa prasejarah ini tampaknya terus berlanjut dan berkembang sampai menembus batas waktu kehidupan Sejarah, sehingga sering disebut sebagai suatu tradisi (dipergunakan terus sampai masa sejarah). Ciri khas budaya megalitik antara lain berupa: menhir, punden berundak, kubur batu (sarkofagus, kalamba, waruga dan sebagainya), meja batu (dolmen), batu dakon, dan bentuk arca-arca manusia maupun hewan.

3. ARTEFAK KERAMIK

Dalam kegiatan kajian (penelitian dan analisis) keramik ini, telah dianalisis sejumlah 77 barang keramik koleksi Museum Prabu Siliwangi, yang terdiri dari: Piring (dish / plate) dengan tiga ukuran (besar:, sedang, dan kecil), Mangkuk (bowl) yang juga memiliki ukuran sedang dan kecil. Mangkuk kecil biasa disebut dengan cawan (small bowl atau small beaker), pasu (), Pedupaan (insence burner), Guci (jar) yang berukuran kecil, sedang, dan besar, teko (teapot);dan botol (bottle). Asal dan periodisasi keramik beraneka, ada yang dari Cina, Thailand, Eropa, Jepang, serta keramik lokal yang dibuat baru atau modern. Beberapa keramik baru, terutama piring besar terlihat meniru bentuk dan motif hiasan piring Cina kuno, akan tetapi terlihat dari bahan, bentuk hiasan serta cara memberikan hiasan memperlihatkan bahwa barang tersebut baru, akan tetapi hanya dalam jumlah yang sedikit, sedangkan sebagian besar adalah barang-barang keramik kuno, yang masuk dalam kategori artefak di dalam terminology arkeologi.

Adapun masa pembuatan keramik tersebut berasal dari rentang waktu cukup panjang, karena ditemukannya 1 guci kecil yang merupakan keramik Cina dari masa Dinasti Tang, Dinasti Ming, dan dinasti Qing, keramik Thailand, Keramik Eropa (Belanda), serta keramik Jepang, dengan rincian sebagai berikut:

  1. Keramik Cina dari masa dinasti Tang (abad 10 M)
  2. Keramik Cina dari masa dinasti Ming; abad 14 -15; 15 – 16 M, dan Ming 17 Masehi
  3. Keramik Cina dari masa dinasti Qing: abad 19 Masehi dan 19 – 20 Masehi, dan abad 20 Masehi\
  4. Keramik Thailand Sawankhalok dari Masa 17 – 18 Masehi
  5. Keramik Eropa (belanda) dari abad 19 Masehi, abad 19 – 20 Masehi
  6. Keramik Jepang dari abad 18 Masehi, abad 20 Masehi
  7. Keramik-keramik modern buatan lokal abad 21 Masehi

Berdasarkan kualitas barang keramik yang ada, umumnya keramik yang menjadi koleksi Museum Prabu Siliwangi yang dianalisis ini terdiri dari barang-barang produksi masal yaitu barang-barang Guandong yang dikenal dengan Kitchen Qing) dengan jumlah cukup dominan, yaitu keramik-keramik yang diproduksi pada masa dinasti Qing abad 19 Masehi dan 19 – 20 Masehi. Selain itu terdapat pula barang yang kualitas menengah yang dibuat dari dapur pembakaran (kiln) di Fujian (dehua).

Khusus guci kecil masa Dinasti Tang abad 10 Masehi yang merupakan koleksi keramik paling tua di Museum Prabu Siliwangi (telah berusia 1000 tahun) ditemukan pula pada situs-situs tua masa Klasik Hindu-Buddha di Indonesia, antara lain di Situs Candi Borobudur, Situs Sriwijaya di Palembang, juga pada Situs Ratuboko di Jawa Tengah.

Keramik dianggap sangat bermanfaat karena pada benda tersebut tersimpan informasi tentang daerah asal produksi dan masa pembuatannya, yang mengacu nama negara dan masa pemerintahan yang berkuasa pada masa itu. Hal tersebut dapat diketahui berdasarkan pengamatan terhadap wujud benda itu sendiri, yang mencakup aspek bentuk, bahan dasar, glasir, hiasan dan jejak pembuatannya. Oleh karena itu keramik berglasir sangat penting artinya karena dapat membantu mengungkapkan bagian sejarah yang pernah berlangsung pada masa itu pada suatu wilayah tertentu. Dari berbagai hasil penelitian di situs-situs arkeologi di Indonesia menunjukkan bahwa keramik Cina telah digunakan oleh masyarakat masa lalu sejak awal abad masehi hingga abad 20 M; sedangkan keramik dari Thailand abad 14 -18 M, Jepang abad 17-20 M dan Eropa abad 18-20 M. Barang-barang keramik tersebut merupakan komoditi dagang pada abadnya, yang dibawa baik oleh kapal-kapal Nusantara; kapal Cina maupun kapal-kapal VOC.

Keramik sebenarnya hanyalah sebagian kecil dari komoditas perdagangan, Kargo dapat penuh dengan teh, sutra, lukisan, pernis, kerajinan logam, dan gading. Keramik sering kali disimpan di bagian paling bawah kapal, baik sebagai pemberat maupun karena tahan terhadap air, berbeda dengan teh yang lebih mahal dan disimpan di bagian atas. Selama ini telah ditemukan sejumlah lokasi kapal karam di perairan Indonesia, dan keramik sebagai barang muatan kargo, berjumlah puluhan hingga ratusan ribu masih dalam kondisi utuh di dasar laut. Keramik yang ditemukan dari kapal-kapal tenggelam di laut biasanya meninggalkan sisa-sisa adanya karang atau pasir laut yang menempel. Hal ini terlihat juga pada beberapa koleksi keramik dari Museum Prabu Siliwangi berupa mangkuk-mangkuk yang masih ditutupi oleh karang laut yag telah terpendam ratusan tahun.

Adapun keramik-keramik yang diproduksi di Guandong, yang dikenal dengan barang-barang Kitchen Qing yang menjadi koleksi Museum Prabu Siliwangi, terutama bentuk piring dan mangkuk, masuk ke Indonesia karena perdagangan keramik yang dibawa oleh kapal-kapal Cina abad 19 – 20 Masehi dari Cina Selatan, masa dinasti Qing akhir. Barang keramik yang masuk kategori barang produksi masal, dipakai oleh orang orang Cina dan orang-orang Indonesia pada masa itu. Sedangkan keramik-keramik Eropa juga keramik Jepang yang menjadi koleksi museum, dulunya umumnya dipakai oleh orang-orang Eropa sehari-hari, seperti botol minuman, serta teko (teapot) yang merupakan perlengkapan table maner atau perlengkapan makan mereka. Benda-benda tersebutpun dipakai oleh para bangsawan Nusantara yang memiliki status sosial tinggi. Barang-barang keramik Koleksi Museum Prabu Siliwangi tersebut dikatakan adalah merupakan warisan milik keluarga yang turun-temurun, memperlihatkan bagaimana tingkat social dari si pemiliknya.

4. ARTEFAK NASKAH KUNO, MATA UANG DAN MUSHAF AL-QUR’AN

Koleksi Museum Sejarah Sunda Prabu Siliwangi menyimpan kekayaan artefak yang mencerminkan periode pengaruh Islam dan kolonial-postkolonial, dengan beragam variasi yang menarik. Dari keseluruhan koleksi yang ada di museum tersebut, 80 benda koleksi (artefak) berhasil dideskripsi dan dianalisis. Ke-80 benda koleksi dikelompokkan ke dalam dua periode besar, yaitu masa pengaruh Islam dan kolonial-postkolonial di Indonesia, sebagai berikut.

1. Koleksi Artefak Periode Pengaruh Islam (26 benda koleksi)

Koleksi artefak dari periode Islam dapat diklasifikasikan berdasarkan asal-usulnya menjadi tiga kategori utama, yaitu:

  1. Koleksi Kitab Kuning;
  2. Koleksi Mushaf dan Naskah Al-Qur’an;
  3. Koleksi Benda Budaya dari Turki dan Benda Lainnya.

Koleksi kitab kuning yang menjadi objek kajian pada riset ini berjumlah 11 kitab. Kitab-kitab kuning tersebut yang dimiliki museum ini sangat beragam dan memiliki periode penerbitan yang bervariasi, mulai dari akhir abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20. Fakta menarik lainnya adalah banyak dari penulis naskah ini berasal dari tanah Sunda. Misalnya, K.H. Ahmad Sanusi yang berasal dari Sukabumi dan Syeikh Muchtar dari Bogor. Selain naskah-naskah yang berasal dari wilayah Sunda, museum juga memiliki beberapa naskah dari Jawa, salah satunya adalah karya K.H. Bisri Mustofa dari Rembang. Isi dari naskah-naskah ini sangat beragam, mencakup berbagai disiplin ilmu seperti fiqh (hukum Islam), ilmu falaq (astronomi Islam), dan ilmu manthiq (logika). Hingga saat ini, kitab-kitab tersebut masih terus dikaji di pesantren tradisional, baik di wilayah Sunda khususnya maupun di Indonesia secara umum.

Koleksi mushaf Al-Qur’an berjumlah dua mushaf, yang besar dan kecil. Mushaf Al-Qur’an besar yang dimiliki museum ini sebenarnya dapat dianggap sebagai salah satu masterpiece atau koleksi unggulan museum. Namun, setelah dilakukan analisis, ditemukan bahwa mushaf tersebut tidak berasal dari masa yang lebih tua. Hal ini dapat dilihat dari material yang digunakan, seperti kertas dan tinta, serta aspek teknis lainnya yang menunjukkan bahwa mushaf tersebut dibuat pada periode yang lebih modern.

Koleksi benda-benda yang berhubungan dengan Turki (Utsmani) berjumlah 12 benda. Koleksi tersebut di museum ini sangat menarik karena dapat menggambarkan upaya mempertautkan antara lokalitas, nasionalitas, dan globalitas. Periode Kesultanan Turki Utsmani dikenal sebagai salah satu periode penting dalam sejarah Islam, ketika agama ini tersebar luas di Asia, Eropa, dan Afrika pada abad ke-16. Pengaruh kesultanan ini tentu juga sampai ke Nusantara. Koleksi Turki Utsmani yang dimiliki museum sangat bervariasi, mulai dari kitab suci, prasasti, batu, dan sebagainya. Koleksi ini dapat dianggap sebagai perangkat memori yang menggambarkan perkembangan dan kejayaan Islam pada masa itu. Namun, untuk menjadikan koleksi ini bernilai dan bermakna tinggi, diperlukan kurasi yang tepat. Kurasi ini bertujuan agar koleksi tersebut dapat menjadi tinggalan sejarah yang penuh dengan nilai edukasi dan inspirasi bagi para pengunjung museum. Sementara itu, koleksi benda lainnya yang menjadi objek kajian dalam riset ini ada satu benda, yaitu Kohkol Abah Bai’.

Berdasarkan pembahasan melalui koleksi artefak yang dimiliki, Museum Sejarah Sunda Prabu Siliwangi tidak hanya menjadi tempat penyimpanan benda-benda bersejarah, tetapi juga berfungsi sebagai sarana edukasi dan sumber inspirasi bagi pengunjung. Koleksi ini, yang mencakup naskah kitab pesantren, mushaf Al-Qur’an, dan artefak Turki Utsmani, memperkaya wawasan pengunjung tentang sejarah dan perkembangan Islam di Nusantara serta koneksi global yang dimilikinya.

  1. Koleksi Artefak Periode Pengaruh Kolonial-Postkolonial (54 benda koleksi)

Kolekasi artefak periode pengaruh kolonial-postkolonial dibagi menjadi dari dua bagian, yaitu:

1) Koleksi artefak berupa dokumen arsip dan buku, terutama yang berkaitan dengan tema pendidikan, pengajaran, dan pengetahuan umum pada masa kolonial Belanda dan awal kemerdekaan Indonesia (30 benda koleksi)

2) Koleksi artefak berupa mata uang koin dan mata uang kertas, mulai dari mata uang koin kepeng Cina, masa VOC, masa Hindia Belanda, sampai masa kemerdekaan RI (24 jenis benda koleksi, dengan total 41 benda).

Koleksi dokumen arsip berjumlah delapan dokumen, terdiri dari tiga ijazah dan lima rapor. Ketiga ijazah terdiri dari dua ijazah berbahasa Sunda dan satu ijazah berbahasa Indonesia. Rapor atau laporan pendidikan ada lima rapor, yaitu tiga rapor berbahasa Belanda, satu rapor berbahasa Jawa, dan satu rapor berbahasa Indonesia.

Koleksi buku-buku tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu: a) buku pelajaran Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah; dan b) buku pengetahuan popular. Buku pelajaran Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah berjumlah 10 buku, terdiri dari sembilan buku pelajaran untuk Sekolah Menengah (delapan buku berbahasa Belanda dan satu buku berbahasa Indonesia lama) dan satu buku pelajaran untuk Sekolah Dasar (berbahasa Melayu/Indonesia lama). Buku pengetahuan populer berjumlah 12 buku, terdiri dari enam buku berbahasa Belanda, dua buku berbahasa Jawa, dan empat buku berbahasa Indonesia.

Koleksi buku-buku pelajaran dan pengetahuan populer tersebut, baik yang diterbitkan pada masa kolonial Belanda maupun masa kemerdekaan Indonesia, memiliki nilai sejarah yang tinggi. Buku-buku tersebut merupakan tinggalan budaya yang patut dilestarikan, tetap dirawat dengan baik dan dijaga dari kerusakan. Buku-buku tersebut mengandung ilmu pengetahuan tidak ternilai harganya. Buku pelajaran tentang berbagai disiplin ilmu dan buku pengetahuan popular dengan berbagai tema, dapat dipelajari oleh para pelajar khususnya, dan dapat dijadikan sumber pengetahuan bagi masyarakat umum. Selain itu, buku-buku tersebut dapat dijadikan acuan alternatif untuk menulis dan menerbitkan buku-buku bernilai, pada masa sekarang dan masa yang akan datang.

Koleksi mata uang koin berjumlah 12 dan terdiri dari: a) koin kepeng Cina dua koin (masa Dinasti Tang dan Song), b) koin pitis Kesultanan Palembang dua koin (pitis buntu dan pitis tebok), c) koin masa VOC tiga koin, d) koin masa Hindia Belanda ada empat koin, dan e) koin masa RI ada satu koin. Sementara itu, koleksi mata uang kertas berjumlah delapan dan terdiri dari: a) masa Hindia Belanda satu jenis uang kertas, b) masa pendudukan Jepang ada satu uang kertas, dan c) masa kemerdekaan RI ada enam uang kertas.

Koleksi mata uang koin dan mata uang kertas cukup beragam, sangat menarik dan unik. Koleksi tersebut dapat menimbulkan kekaguman terhadap desainnya, dan mengandung cerita di balik pembuatannya yang menjadi saksi perjalanan sejarah Indonesia. Oleh karena itu, pelestarian koleksi mata uang tersebut menjadi penting agar sejarah dan beragam ilmu pengetahuan lainnya dapat tergali.